ANALISIS UNSUR INTRINSIK CERPEN "PARMIN" Karya Jujur Prananto
PARMIN
Mencurigai. Betapa tidak enaknya
perbuatan ini. Bahkan terhadap orang yang patut dicurigai sekalipun. Lebih
tidak enak lagi kalau orang itu adalah permin. Tukang kebun yang rajin dan tak
banyak cakap itu. Yang kerjanya cekatan, dengan wajah yang senantiasa memancarkan
kesabaran. Kadang ia membangkitkan rasa iba, tanpa ia bersikap meminta. Parmin
justru banyak memberi, Cuma jarang begitu disadari. Tapi keadaan telah berubah.
Semenjak pesta ulang tahun papi beberapa hari yang lalu, senyum itu tak lagi
akrab dengan wajah lugunya. Tak ada yang bisa memaksa parmin untuk mengatakan
sesuatu sehubungan dengan kemurungannya itu selain ucapan.”Saya tidak apa-apa”
Rasanya berat untuk berpikiran bahwa
orang seperti dia bisa melakukan tindak tak terpuji. Tapi apa boleh buat, ada
dugaan kuat bahwa paling tidak dia telah berbuat salah yang membuatnya begitu
resah. Dan inilah peristiwa yang mengawali kecurigaan itu, seperti berulang
kali di ceritakan mami.
Parmin mencuri? Itu lah kemungkinan yang
paling dikhawatirkan. Hari-hari sebelumnya sebenarnya belum ada petunjuk ke
arah itu. Bahkan hari sabtu, pada siangnya pesta itu akan berlangsung,
pagi-pagi ia datang masih dengan penampilan cerah seperti biasa. Kapan dan
mengapa? Sekitar pukul sepuluh ia membantu parjilah berbelanja kebeberapa rumah
makan, pasar, dan supermarket. Selanjutnya pekerjaan permin tidak berat:
menyimpan es krim, menghidangkannya bila ada tamu yang berminat. Segalanya
berjalan beres.
Adalah sengat mengagetkan ketika
keesokan harinya ia tetap muncul, walau masih dengan kegelisahan dan
kegugupannya. Nampak lesu, bekerja tanpa gairah, parmin kemudian meminta izin
pulang awal dengan alasan kurang enak badan. Tapi, keesokan harinya lagi, yakni
dua hari setelah pesta ulang tahun papi, Parmin tidak masuk! Bisa jadi ‘sang tikus’berhasil
berbelit dari perangkap. Tapi berati pula ada kesempatan menyelidiki. Dapur
diteliti, gudang belakang di bongkar.
Diamati seksama apakah terdapat
kerusakan pada pintu-pintu, dan yang penting adalah barang-barang di dalam yang
hilang, yang kira-kira paling berharga dan bisa menarik perhatian orang yang
“sudah lama melakukan pengamatan dengan menyamar sebagai tukang kebun”.
Walhasil, kerja seharian sana-sini tak menghasilkan apa-apa selain rangkaiaan
nostalgia dan seonggok dabu. Jadi bisa saja parmin tidak mengambil apa-apa,
pada saat itu. Tapi belum tentu untuk harari-hari mendatang, sebagaimana
ditandaskan oleh tante tatik, kakak papi tertua, ketika dihubungi mami lewat
telepon. “hati-hati. Pencuri zaman sekarang mulai bekerja pakai akal. Mereka pandai-pandai,
punya planning. Rumah sebelah pernah kena rampok jutaan persis dimana tempat
menyimpan barang-barang berharga.”
Mami tersentak. Ya siapa sebenarnya
parmin? Pembantu perempuan cepat-cepat dipanggil, lalu diinterogasi.
“parjilah! Dulunya parmin itu tinggal
sedusun sama kamu?”
“tidak”
“lho, jadi dia bukan apa-apa kam, to?
Tidak kenal sejak di dusun? Sejak kecil? Tidak tau juga rumahnya di mana? Atau
rumah saudara-saudara dia?”
“tidak. Saya kenal mas parmin waktu dia
kerja di rumah sebelah.”
“rumah parmin pasti tak jauh dari sini.
Kesini dia Cuma bersepedah,”papi menganalisa.”besok kita tanyakan ke kelurahan.
Kalau perlu ke kecamatan.”mami setuju. Tapi…
“di mana sih kantor kecamatan?”
Pada akhirnya ternyata mami, atau siapa
pun, tak perlu merepotkan diri ke kantor kelurahan, kecamatan, atau kantor apa
pun, karena pada hari ketiga, keempat dan seterusnya sampai dengan kemarin ini,
Parmin masuk seperti biasa.
Namun tak berati persoalan lalu selesai.
Sebab nanti siang aka nada pesta lagi. (Arisan keluarga sebenarnya. Tapi apalah
bedanya dengan pesta)
Kecurigaan atas diri Parmin tak
menjadikan mami ragu-ragu membolehkan Parmin datang membantu-bantu. Malah
sebaliknya, pesta nanti siang seolah dirancang sebagai perangkap, yang
diharapkan bisa merangsang Parmin agar “melakukan rekonstruksi tanpa paksaan”
Pukul Sembilan dia datang dengan sepeda
tuanya. Langsung ke kebun belakang, mengambil slang air, menyiram tanaman
anggrek. Selesai itu mami menyuruh parmin mempersiapkan kursi-kursi tambahan
untuk ruang tengah.
“Mau ada acara makn,” mami menambahkan.
Arisan memang berjalan lancar, namun tak urung mami terbawa-bawa jadi gelisah.
Dan, entah mesti disyukuri ataukah disesalkan, rekontruksi ternyata berjalan
persis yang dinanti. Parmin, suatu ketika, melintas cepat dari dapur ke garasi.
Himan siaga. Sempat ia melihat Parmin memasukkan sesuatu ke dalam tasnya. Hanya
sekilas. Karena secepat pula Parmin melarikan sepedanya keluar.
“Kejar!” mami berteriak.
Maka Nampak dua sepeda yang mencoba
berpacu, berkelit di antara ratusan mobil yang berhenti ataupun yang melata
pelan, di tengah jalanan Jakarta yang macet, tanpa ada yang tau persis siapa
mengejar siapa. Jangan-jangan, justru Parminlah yang mengejar sesuatu, tapi
apa? Himan mengikuti dengan perasaan bertanya-tanya. Sampai kemudian Parmin
nampak menyusuri dinding sebuah rumah petak, separuh bangunan batu dan sebelah
atas dinding kayu. Di ujung sana Parmin memasukkan sepedanya. Himan cepat
menyusul. Tapi yang dihadapinya kemudian memaksanya untuk berhenti melangkah, urung
menyergap.
‘Bapak pulang! Bapak datang!”
Tiga anak kecil keluar dari dalam
merubung Parmin. Seseorang meninju-ninju kaki bapaknya, seorang ber-breakdance
tak karuan, dan yang satu lagi menarik-narik tas.
“Hati-hati ada isinya!”
Serentak ketiganya berteriak. “Mak! Mak!
Tas bapak ada isinya!”
Istri parmin keluar, membawa segelas the
yang nampaknya sudah disiapkan sejak tadi. Sementara itu tas dibuka. Ada
bungkusan plastik. Bungkusan dibuka. Ada kantong plastik dibuka. Si bungsu
merebut. Plastik pecah. Isinya sebagian tumpah!
“Maak! Es kriiim!
“Cepat ambil gelas!”
“He, he, kalau sudah begini lupa berdoa,
ya?”
“Berdoa kan kalau buat mau makan nasi,
Mak.”
“Ya sudah, sekarang mengucap terima
kasih saja,” Parmin menyambung,”Yang memberi es krim ini tante Oche, tante
Ucis, sama Oom Himan. Ayo, gimana?
Dengan takzim ketiganya mengucapkan
pelan, satu anak menyebut satu nama.
“terima kasih Tante Once.”
“terima kasih Tante Ucis.”
“terima kasih Oom Himan.”
Himan melangkah surut. Diambilnya
sepedanya, lalu pelan ia menyusuri gang yang remang oleh sisa-sisa cahaya lampu
dari dalam rumah-rumah petak yang jendelanya masih terbuka.
Hasil Analisis
1. Tema
“Kesalahpahaman”
Bukti Kutipan:
Dan inilah peristiwa yang mengawali
kecurigaan itu, seperti berulang kali diceritakan mami.
Parmin mencuri? Itulah
kemungkinan yang paling di takutkan. Hari-hari sebelumnya tidak ada petunjuk ke
arah itu. Bahkan hari sabtu, pada siangnya pesta berlangsung, papi-pagi ia
datang dengan penampilan cerah seperti biasa. Adalah sangat mengagetkan ketika
keesokan harinya ia tetap muncul walau masih dengan kegelisahan dan
kegugupannya. Nampak lesu, bekerja tanpa gairah, parmin kemudian minta izin
pulang awal dengan alasan kurang enak badan. Tapi keesokan harinya lagi yakni
dua hari setelah pesta ulang tahun Papi, Parmin tidak masuk.
1) Parmin
Bukti Kutipan:
“Ya sudah, sekarang mengucapkan
terima kasih saja, “Parmin menyambung,”yang memberi es krim ini tante Oche,
tante Ucis, sama oom Himan. Ayo gimana?”
2) Mami
Bukti kutipan:
"Mami tersentak. Ya siapa
sebenarnya Parmin? Pembantu perempuan cepat-cepat di panggil lalu di introgasi."
3) Papi
Bukti kutipan:
"Rumah parmin pasti tidak jauh dari
sini dia Cuma bersepeda, “papi
menganalisa. “besok kita tanyakan ke kelurahan. kalau perlu ke kecamatan.
4) Istri Parmin
Bukti
Kutipan:
"Istri Parmin keluar, membawa segelas teh yang nampaknya sudah
disiapkan sejak tadi. Sementara itu tas di buka. Ada bungkusan plastik.
Bungkusan di buka. Ada kantong plastik dibuka. Si bungsu merebut. Plastik
pecah. Isinya sebagian tumpah!"
5) Tritagonis HimanBukti kutipan :
"Himan siaga. Sempat ia melihat memasukkan sesuatu ke dalam tasnya. Hanya sekilas karena secepatnya itu pula parmin melarikan sepedanya keluar."
6) Anak-anak Parmin
Bukti kutipan:
“Maak! Es kriiim!
Dengan takzim ketiganya mengucapkan pelan, satu anak menyebut satu nama.
“terima kasih Tante Oche.”
“terima kasih Tante Ucis.”
“terima kasih Oom Himan.”
3. Penokohan
1) Penokohan Parmin
Tidak banyak bicara, sabar, &
cekatan, rendah hati.
Bukti
kutipan:
"Parmin tukang kebun yang tidak banyak cakap itu yang kerjanya cekatan
dengan wajah yang senantiasa memancarkan kesabaran. Kadang ia membangkitkan
rasa iba tanpa ia bersikap meminta, parmin justru lebih banyak memberi Cuma
jarang disadari."
2) Penokohan Mami
Mami penuh
kecurigaan, dan bersikap berhati-hati.
Bukti Kutipan :
Dan inilah peristiwa yang
mengawali kecurigaan itu, seperti berulang kali diceritakan mami.
Mami tersentak. Ya, siapa
sebenarnya Parmin? Pembantu perempuan cepat-cepat dipanggil, lalu diinterogasi.
3) Penokohan HimanSigap
Bukti kutipan:
"Di ujung sana Parmin cepat memasukkan sepedahnya, Himan cepat menyusul."
4) Penokohan Isteri Parmin
sabar dan suka mengingatkan
bukti kutipan:
“he, he, kalau sudah begini lupa ya sama berdoa."
5) Penokohan Anak-anak Parmin
Bukti anak-anak Parmin tidak sabaran:
"Anak-anak Parmin seorang yang tergesah-gesah: “mak! Es kriiim!
Bukti kesantunan anaka-anak Parmin:
“terima kasih Tante Oche”
“terima kasih Tante Uchi”
“terima kasih Oom Himan”
4. Latar
a. Latar Tempat
Sekitar Rumah Parmin
"Sampai
kemudian Parmin nampak menyusuri dinding sebuah rumah petak, separuh bangunan
batu dan sebelah atas dinding kayu."
b. Latar Waktu
Menjelang malam
" ... lalu pelan ia menyusuri gang yang remang oleh sisa-sisa cahaya lampu."
c. Latar Suasana
Suasana tegang tersirat dari kutipan:
"Parmin suatu ketika melintas cepat dari dapur ke garasi. Himan siaga. Sempat ia melihat parmin
memasukkan sesuatu ke dalam tasnya. Hanya sekilas, karena secepat itu pula parmin melarikan
sepedanya.‘’kejar!’’mami berteriak.
semoga artikel ini bermanfaat unsur intrinsik dan ekstrinsik cerpen, pengertian dan ciri-ciri cerpen, analisa penokohan cerpen dan nilai dalam cerpen
BalasHapus